Hujan
yang turun dengan derasnya, tidak membuat stasiun di sore itu sepi akan
orang-orang yang lalu-lalang. Terlihat segerombolan orang berseragam kantoran
dengan menjinjing tas keluar dari pintu gerbong kereta, diikuti anak sekolah
dengan seragam putih abu-abu, yang terlihat masih asik bersenda gurau dengan
teman-temannya di dalam gerbong kereta, sembil berdesakan keluar gerbong.
Tampak pula dari jendela gerbong, laki-laki paruh baya yang sedang berdiri di
belakang gerombolan anak-anak sekolah, laki-laki dengan gaya khasnya, yang
menggunakan kemeja lengan panjang ala tempo dulu lengkap dengan celana
bahannya—terlihat sangat sabar menunggu antrian.
Di
luar gerbong kereta, terlihat pengamen-pengamen yang ikut meramaikan stasiun di
sore itu, iringi alunan musik dari lagu yang begitu syahdu terdengar. Berdampingan
pedagang-pedagang aneka makanan, buah-buahan, mainan anak-anak, dan beberapa
loper koran yang berjajar rapih di kios-kios yang telah disediakan pihak
stasiun.
Tampak
pula di pelataran gerbang stasiun,
anak-anak penjajak payung yang tengah asik menjajakan payung di
tengah-tengah derasnya guyuran hujan, dengan penuh semangat mereka berlarian
kesana kemari untuk menawarkan payungnya. Mereka terlihat begitu riang, seakan
telah bersahabat dengan hujan, terutama bagi ku, walau petir terus bergemuruh
menyambar di langit yang mulai menghitam, namun tidak menyurutkan langkah kaki
kecilnya untuk terus menjajakan payungnya.
***
Aku
Zahra berusia 7 tahun, Zahra yang berarti bunga. Aku memiliki paras wajah bulat
dengan mata sipit, serta lesung pipi yang menghiasi pipi chubby-ku, aku memiliki tubuh
yang tidak terlalu tinggi dengan kulit putih bersih. Gadis kecil yang penuh
semangat dan pekerja keras ini memiliki cita-cita sebagai wartawan, tak heran
aku sangat menggemari membaca. Selain itu aku adalah anak yang taat agama dan sangat
berbakti pada orangtua, terutama ibuku. Aku rela mengganti waktu bermainku
untuk bekerja, demi membantu ibu mencari uang untuk mencukupi kehidupanku sehari-hari,
dan untuk menabung guna mengumpulkan biaya sekolahku kelak. Aku yakin uang yang
aku kumpulkan lembaran demi lembaran, kelak dapat mengantarkanku pada gelar
sarjana jurnalistik.
Seperti
biasanya, setiap pulang sekolah, aku selalu pergi ke stasiun untuk menjajakan
payungnya. Dengan riang aku melangkahkan kaki menuju stasiun Bogor. Udara
dingin menyapa, langit kembali cerah dan cuaca kembali bersahabat denganku. Hari
ini aku merasa beruntung dan begitu bahagia, kerena hujan turun dengan begitu
derasnya.
Genangan-genangan air di sekitar Jalan Merdeka
stasiun Bogor, sudah mulai nampak, lobang-lobang yang disebabkan karena
kerusakan jalan telah dipenuhi dengan air hujan. Mulai nampak beberapa penjajak
payung berdatangan. Tubuh kecilku berlari-lari tak mau kalah dengan penjajak
payung lainnya, aku menghampiri orang-orang yang turun dari kereta, berusaha
menjajakan payung, diantara orang-orang yang hilir mudik sili berganti di
stasiun.
“Pak payungnya pak? ”
“Berapa
harga sewanya,” Tanya bapak bertubuh besar tinggi.
“Seribu
aja pak, mau ya pak, ? Nanti aku antar deh pak sampai tempat yang bapak mau” Rayuku
sambil mengikuti langkahnya.
“Seribu
? mahal banget. Gak ah, enggak jadi”
“Terus
berapa pak maunya? Kan biasanya seribu pak,” Aku berusaha mengikuti langkahya
yang cepat di tengah hujan yang turun dengan deras.
“Gak,
saya enggak mau, udah sana pergi !“ Bentaknya sambil mendorong tubuhku kearah
belakang.
Aku
pun tersungkur di atas kobangan tanah yang berbatu. Rasa sakit pun tak
terelakan, terutama dibagian kepalaku, aku merintih kesakitan, namun bapak itu
malah pergi meninggalkanku tanpa berusaha menolongku yang masih terduduk. Saat
perlahan mulai ku pegang dahiku, kudapati darah segar yang merembas, mengslir membasahi
telapak tanganku.
Hari
semakin sore, namun luka di dahiku masih terus mengeluarkan darah, aku masih
merintih kesakitan, tak ada seorang pun yang menolongku, aku terus menangis di
pinggir stasiun. Dari kejauhan terlihat sosok yang begitu ku kenali, gadis
berkerudung biru dengan gamis putihnya yang di hiasi motif bunga-bunga biru,
dia membawa ransel berwarna hitam dan kamera yang menggantung di lehernya. Dialah
kak. Aina, seorang mahasiswi jurusan jurnalistik di salah satu Universitas
Islam Negeri di Jakarta. Kak. Aina berlari kecil kearaku, betapa terkejutnya
dia ketika menghampiriku dan melihat luka di keningku.
“Zahra
keningmu kenapa ?“ Tanya Kak. Aina panik.
“Tadi
waktu aku menawarkan payung, seorang bapak menolak lantas mendorong tubuhku
hingga aku terjatuh, dan terbentur batu,“ Jawabku sambil meringis kesakitan.
“Astagfirullah.
Ayo kita ke puskesmas ya sayang, luka kamu harus segera diobati,” Bujuk Aina,
dan dengan segera Aina pun membawa Zahra ke Puskesmas.
Dokter
telah selesai mengobati lukaku, keningku yang robek akibat terbentur batu sudah
tidak bisa di jahit, karena sudah terlalu lama didiamkan setelah jatuh tadi. Setelah
diberi obat, lukaku pun berhenti mengeluarkan darah.
Setelah
menebus obat Aina segera mengantar Zahra pulang ke rumahnya untuk istirahat,
rumah Zahra terletak tidak begitu jauh dari stasiun, hanya membutuhkan waktu 10
menit jika ditempuh dengan berjalan kaki.
Angin
yang berhembus di sore itu terasa begitu dingin, awan hitam kini mulai berubah
memerah, tanah yang ku injak masi basah karena hujan yang turun sedari siang
tadi, baru beberapa jam lalu berhenti. Adzan maghrib pun berkumandang,
terlantun dalam lembayung sore, di iringi alunan musik senandung alam yang
begitu menggetarkan jiwa.
Di
depan rumah yang berdindingkan anyaman bambu, dengan tambalan koran disana sini,
dan topangan bambu, langkah kecil Zahra terhenti.
“Sudah
sampai kak, ini rumahku ayo kak masuk“
Aina
begitu iba melihat kondisi rumah Zahra, rumah yang mungkin sudah tidak layak
huni ini masih ditempati, bersama Ibunya. Kehilangan tulang punggung keluarga,
membuat mereka harus hidup seperti ini. Aku sudah lama mengenal Zahra, si gadis
cilik penjajak payung yang memiliki sejuta semangat, dia anak yang paling giat
bekerja dan penuh semangat yang pernah ku temui. Pernah suatu hari dia
bercerita, bahwa ojek payungnya belum laku sama sekali hingga malam hari
datang, tetapi dia terus menjajakan payungnya, berharap masih ada orang yang
mau menyewa payungnya. Pernah juga dia berkata bahwa dia ingin menjadi wartawan
sepertiku. Aku pun mengaamiini harapannya, sejak saat itu aku selalu berdoa
untuknya, semoga kelak cita-citanya itu dapat terwujud.
“Kak
kok melamun ?,“ Tanya Zahra polos.
“Tidak
dik, kakak tidak melamun,“ Zahra membuyarkan lamunanku.
“Kak
kita shalatnya berjamaah ya, kata Ibu berjamaah lebih utama dari pada sendiri,“
pintanya, sambil melempar senyum kearahku.
Zahra larut dalam ke khusuan shalat, gerakan
shalat ia begitu rapih, bacaanya pun sangat fasih. Karena sudah sejak ia kecil
Ibu dan Almarhum ayahnya selalu menerapkan pendidikan agama di lingkungan
keluarga. Aina selalu terkesima saat mendengar gadis kecil ini membaca Al-Quran, gadis kecil yang sudah hafal juz 30 ini,
memiliki suara yang begitu indah. Tak lama berselang setelah shalat berakhir, dan
mereka telah selesai tadarus, Ibunya pun tiba di rumah, karena keadaan Zahra
telah membaik, Aina pun pamit pulang.
Sebelum
tidur tak lupa kembali ku ambil air wudhu, kemudian ku baca beberapa surat
dalam Al-Quran untuk menjaga hafalanku, dan tak lupa pula ku baca buku
pelajaran yang esok akan di pelajari di sekolah. Aku sangat senang menjelajahi
halaman demi halaman buku paket yang diberikan sekolah, sekolah memberikan buku
ini secara geratis, karena berturut-turut aku mendapat juara umum.
Di
meja belajar tua inilah aku menghabiskan malam untuk belajar, sebelum tiba
waktu tidur, walau hanya dengan penerangan seadanya. Malam semakin larut,
sebatang lilin yang mulai mencair habis dimakan sang api, menandakanku untuk
mensudahi belajar di malam ini. Jam yang tertempel di bilik rumahku, menunjukan
pukul 22:00 WIB. Aku pun segera merapihkan buku-buku yang masih berserak di
meja, dan mengambil kain yang masih setia menjaga tubuhku dari terpaan dinginya
angin malam.
***
Malam pun berganti
dengan pagi yang bising, suara kereta seakan menjadi alarm bagi penduduk
sekitar. Selepas subuh Ibu sudah berangkat ke pasar anyar, untuk menjajakan
nasi timbel, makanan khas Sunda itulah yang menjadi mata pencaharian Ibu selama
tiga tahun belakangan, setelah Ayah meninggal.
Setelah
merapihkan rumah, aku pun bergegas berangkat sekolah. Aku bersekolah di SDN Kerta
jaya, sebuah sekolah yang terletak di pinggiran kota Bogor. Di sekolah ini lah
tempat ku menggali ilmu. Walau aku tidak memiliki banyak uang, tetapi aku
selalu berusaha untuk memiliki banyak ilmu dan prestasi. Beberapa kali aku
pernah dikirim sebagai perwakilan sekolah dalam lomba cerdas cermat dan MHQ
(musabaqoh hifzil quran) di tingkat kota. Beberapa kali aku berhasil meraih
juara pertama, mengalahkan SD SD se-Bogor raya.
“Teeet….”
Tak terasa waktu sekolah telah usai. Bubunyi bel
menandakan tanda waktu pulang sekolah sudah tiba. Aku segera bergegas pulang
kerumah.
Selepas
berganti pakaian dan shalat zuhur, aku berjalan menuju dapur, namun harus ku
urungkan niatku untuk makan, karena diatas meja tidak ku temui makanan apapun,
kecuali air putih. Walau aku sangat lapar, karena sejak kemarin sore belum ada
sesuap nasi pun yang masuk kedalam perutku, tetapi aku harus dapat menahannya.
Untuk menahan rasa lapar, kuteguk beberapa gelas air putih, setidaknya air ini
dapat membuatku kenyang. Dengan penuh semangat aku bangkit dari tempat duduk
dan segera beranjak menuju ke stasiun.
“Payung payung, Pak Bu, ojek payungnya ?” Tawarku
pada orang-orang yang baru saja turun dari kereta, berharap salah satu dari
mereka ada yang menyewa payungku ini.
Baru
beberapa jam aku menjajakan payung dan alhamdulillah,
hari ini sudah ada sepuluh orang yang menyewa payungku, aku membayangkan uang
di celenganku.
Sudah
berapa banyak ya uang yang ada di celenganku ? hmm apa sudah berjuta-juta ya?
Kalau sudah banyak pasti nanti cukup buat biaya aku kuliah, nanti aku pakai
baju toga kaya pak. Guru, nanti aku akan bergelar sarjana jurnalistik. Asik…
nanti aku jadi wartawan terus aku akan meliput banyak berita, masuk TV, terus punya
banyak uang, bisa ajak Ibu jalah-jalan deh. Huuaaah semoga uang ini bisa
menambahkan lagi jumlah yang ada.
“Zahra”
Suara
seorang laki-laki paruh baya itu membuyarkan lamunanku, dia sangat tergesa-gesa
datang menghampiriku, dia menarik tanganku seraya mengatakan bahwa Ibuku saat
ini sedang berada di Rumah Sakit. Aku sangat terkejut mendengar kabar itu, aku
lantas pergi ke Rumah Sakit tempat Ibu dirawat.
Di
depan ruang UGD rumah sakit, aku tak bisa berhenti manangis. Ibu koma karena terkena
tusukan di bagian perut sebelah kiri, yang hampir menembus lambungnya. Ibu
tertusuk pisau seorang pencopet, yang kala itu hendak mencopet ibu paruh baya
di pasar tempat Ibu bejualan. Saat itu Ibu hendak menolong Ibu paruh baya itu,
dengan berusaha memukul pencopet dengan sebatang kayu, namun naas pencopet
mengetahui gerak Ibu, lantas meluncurkan pisaunya ke perut Ibu.
Wajah
ibu benar-benar pucat, aku terus melihat elektrokardiografi yang ada di samping
ranjang Ibu, sebuah monitor yang berfungsi merekam kerja jantung, aku terus
berdoa agar monitor itu tetap berjalan, dan Ibu dapat melewati masa kritis ini.
Aku hanya bisa melihat Ibu dari jauh, hanya dari jendela kecil yang ada di
pintu ini lah aku dapat melihat Ibu. Pikiranku terus berputar-putar pada
kejadian tiga tahun yang lalu. Aku takut kejadian tiga tahun lalu yang terjadi
pada almarhum Ayahnya, terulang kembali pada ibunya. Tiba-tiba wajah Ibu lewat
dalam lamunku.
Aku
masih diliputi rasa bingung, dari manakah aku bisa mendapatkan uang untuk
membayar biaya rumah sakit. Aku harus berusaha sekuat tenaga mengumpulkan uang
untuk pengobatan Ibu, aku tak ingin sesuatu hal buruk menimpahnya.
Walaupun
setiap hari aku harus menjajaki payung dari pagi hinga malam, menggantikan
pekerjaan Ibu sebagai pengais beras, mencari uang tambahan dengan bekerja
sebagai kuli pembersih WC umum, namun aku tak akan pernah berkata “lelah”, takan
pernah ada kata lelah untuk Ibu, karena aku sangat mencintainya, kau lah
nafasku, kau lah detak jantungku, dan hanya kau lah yang mampu mengisi
hari-hariku.
Berminggu-minggu
telah ku kumpulkan uang, namun semua itu tidaklah cukup untuk membayar
pengobatan Ibu di rumah sakit. Hanya tersisa pilihan membobok semua tabunganku.
Hatiku
sangat bimbang apa ini satu-satunya yang dapat melunasi semua biaya Rumah Sakit
Ibu, uang ini telah ku kumpulkan selama 3 tahun, ya Allah apa tidak ada jalan
lain? Kalau uang ini aku pakai, pupuslah sudah harapanku menjadi seorang
sarjana jurnalistik,
Aku
masih dalam kebingungan, kucoba bersujud pada-Nya, berdoa mengharap petunjuk
terbaik-Nya. Saat aku menundukan kepala wajah ibu terlintas dalam benakku,
Tidak
ada pilihan lain, ya mungkin uang yang telah ku kumpulkan selama tiga tahun ini
harus aku keluarkan untuk membayar pembiayaan Rumah sakit ibu. Aku harus ikhlas
demi kesembuhan Ibu.
***
Disisi
lain, Aina masih terus mencari keberadaan Zahra. Aina yang diam-diam menjadikan
Zahra sebagai objek liputannya ingin segera menyampaikan kabar gembira ini pada
Zahra, keyakinan Aina terwujut. Kisah inspirasi Zahra berhasil mendapatkan
peringkat pertama lomba liputan kisan inspirasi 2012, yang diadakan salah satu
perusahaan yang bergerak di bidang jurnalistik, yang bekerjasama dengan salah satu
Universitas Negeri di Jakarta.
Aina
akan menyerahkan semua hadiah uang tunai kepada Zahra, untuk keperluan sekolah dan
membantu biaya hidupnya sehari-hari. Selain hadiah uang tunai tokoh inspiratif
pun akan mendapatkan beasiwa pendidikan hingga S1. Hadiah ini akan mengantarkan
Zahra menjadi seorang sarjana jurnalistik, sebagaimana cita-citanya..
Di
hari ke tujuh pencarian, Aina kembali mencari Zahra, dia menanyakan pada para
pedagang dan pengamen yang ada di stasiun, namun tidak ada seorang pun yang tahu.
Hingga suatu hari ada seorang bapak paruh baya, yang menuturkan bahwa Ibu Zahra
masuk Rumah sakit dan koma.
Aina
pun segera mencari Rumah Sakit tempat Ibu Zahra dirawat. Samapailah Aina di depan
ruang rawat. Dimana di dalam ruangan ada sesosok gadis kecil dengan mukena
putih, yang sedang melantunkan ayat-ayat Al-Quran di samping seorang Ibu, yang sedang
terbaring di ranjang Rumah Sakit. Gadis kecil yang benar-benar
menginspirasinya. Sifatnya yang penuh semangat, pantang menyerah, keuletannya
dalam bekerja, serta ketekunannya dalam Agama.
Aina
masih berdiri di pintu ruang rawat kelas tiga itu, tanpa ia sadari air mata
mengalir membasahi pipinya yang merah. Aina pun segera menghampiri Zahra lantas
memeluknya erat, kemudian dengan penuh rasa syukur Aina menjelaskanlah semua
yang terjadi. Tentangnya yang menjadikan Zahra sebagai tokoh inspiratif dalam
lomba liputannya, tentang kemenangan liputan yang dia buat, tentang beasiswa
yang akan di raih Zahra, serta hadiah uang tunai yang saat ini mungkin akan
sangat berguna, untuk membayar biaya Rumah Sakit.
Mendengar
semua itu, Ibu Zahra yang sudah sadarkan diri sangat terharu bahagia, senyum
mengembang di pipi Ibu yang masih terlihat sangat lemah itu. Zahra masih
terpaku dengan penjelasan Aina, air matanya seketika tumpah. Seluruh pasien dalam ruangan itu ikut
terlarut di dalamnya.
Akhirnya
perjuangannya menjajakan payung tidak sia-sia, uangnya yang telah dikumpulkan
selama tiga tahun, yang telah habis dipakai untuk membayar biaya Rumah Sakit,
kini telah tergantikan dengan uang hasil hadiah yang diberikan Aina. Secercah
sinar harapan pun semakin jelas nampak, mimpinya untuk menjadi seorang sarjana
jurnalistik kini ada di depan mata, diantara hujan dan payungnya.