Rabu, 20 Maret 2013

Gadis Berjilbab Ungu


Hembusan lembut angin sore
Membelai jilbabmu
Jilbab ungu
Melambai-lambai lembut tertiup sepoi angin

Sekilas kulihat senyum terpancar
Dibalik jilbab yang kau kenakan
Senyum malu-malu
Menghiasi wajah manismu

Dalam balutan jilbab ungu
Pesona ketakwaan
Keanggunan serta keceriaan
Terpancar dibalik jilbabmu

Senyum selalu terukir
Dalam wajahmu
Senyum dibalik balutan
Jilbab ungu

Bagai ukiran pelangi disenja hari
Begitu indah
Mempesona
Mewarnai langit senja

Gadis Penjajak Payung




Hujan yang turun dengan derasnya, tidak membuat stasiun di sore itu sepi akan orang-orang yang lalu-lalang. Terlihat segerombolan orang berseragam kantoran dengan menjinjing tas keluar dari pintu gerbong kereta, diikuti anak sekolah dengan seragam putih abu-abu, yang terlihat masih asik bersenda gurau dengan teman-temannya di dalam gerbong kereta, sembil berdesakan keluar gerbong. Tampak pula dari jendela gerbong, laki-laki paruh baya yang sedang berdiri di belakang gerombolan anak-anak sekolah, laki-laki dengan gaya khasnya, yang menggunakan kemeja lengan panjang ala tempo dulu lengkap dengan celana bahannya—terlihat sangat sabar menunggu antrian.
Di luar gerbong kereta, terlihat pengamen-pengamen yang ikut meramaikan stasiun di sore itu, iringi alunan musik dari lagu yang begitu syahdu terdengar. Berdampingan pedagang-pedagang aneka makanan, buah-buahan, mainan anak-anak, dan beberapa loper koran yang berjajar rapih di kios-kios yang telah disediakan pihak stasiun.
Tampak pula di pelataran gerbang stasiun,  anak-anak penjajak payung yang tengah asik menjajakan payung di tengah-tengah derasnya guyuran hujan, dengan penuh semangat mereka berlarian kesana kemari untuk menawarkan payungnya. Mereka terlihat begitu riang, seakan telah bersahabat dengan hujan, terutama bagi ku, walau petir terus bergemuruh menyambar di langit yang mulai menghitam, namun tidak menyurutkan langkah kaki kecilnya untuk terus menjajakan payungnya.
***
Aku Zahra berusia 7 tahun, Zahra yang berarti bunga. Aku memiliki paras wajah bulat dengan mata sipit, serta lesung pipi yang menghiasi pipi chubby-ku, aku memiliki tubuh yang tidak terlalu tinggi dengan kulit putih bersih. Gadis kecil yang penuh semangat dan pekerja keras ini memiliki cita-cita sebagai wartawan, tak heran aku sangat menggemari membaca. Selain itu aku adalah anak yang taat agama dan sangat berbakti pada orangtua, terutama ibuku. Aku rela mengganti waktu bermainku untuk bekerja, demi membantu ibu mencari uang untuk mencukupi kehidupanku sehari-hari, dan untuk menabung guna mengumpulkan biaya sekolahku kelak. Aku yakin uang yang aku kumpulkan lembaran demi lembaran, kelak dapat mengantarkanku pada gelar sarjana jurnalistik.
Seperti biasanya, setiap pulang sekolah, aku selalu pergi ke stasiun untuk menjajakan payungnya. Dengan riang aku melangkahkan kaki menuju stasiun Bogor. Udara dingin menyapa, langit kembali cerah dan cuaca kembali bersahabat denganku. Hari ini aku merasa beruntung dan begitu bahagia, kerena hujan turun dengan begitu derasnya.
 Genangan-genangan air di sekitar Jalan Merdeka stasiun Bogor, sudah mulai nampak, lobang-lobang yang disebabkan karena kerusakan jalan telah dipenuhi dengan air hujan. Mulai nampak beberapa penjajak payung berdatangan. Tubuh kecilku berlari-lari tak mau kalah dengan penjajak payung lainnya, aku menghampiri orang-orang yang turun dari kereta, berusaha menjajakan payung, diantara orang-orang yang hilir mudik sili berganti di stasiun.
 “Pak payungnya pak? ”
“Berapa harga sewanya,” Tanya bapak bertubuh besar tinggi.
“Seribu aja pak, mau ya pak, ? Nanti aku antar deh pak sampai tempat yang bapak mau” Rayuku sambil mengikuti langkahnya.
“Seribu ? mahal banget. Gak ah, enggak jadi”
“Terus berapa pak maunya? Kan biasanya seribu pak,” Aku berusaha mengikuti langkahya yang cepat di tengah hujan yang turun dengan deras.
“Gak, saya enggak mau, udah sana pergi !“ Bentaknya sambil mendorong tubuhku kearah belakang.
Aku pun tersungkur di atas kobangan tanah yang berbatu. Rasa sakit pun tak terelakan, terutama dibagian kepalaku, aku merintih kesakitan, namun bapak itu malah pergi meninggalkanku tanpa berusaha menolongku yang masih terduduk. Saat perlahan mulai ku pegang dahiku, kudapati darah segar yang merembas, mengslir membasahi telapak tanganku.
Hari semakin sore, namun luka di dahiku masih terus mengeluarkan darah, aku masih merintih kesakitan, tak ada seorang pun yang menolongku, aku terus menangis di pinggir stasiun. Dari kejauhan terlihat sosok yang begitu ku kenali, gadis berkerudung biru dengan gamis putihnya yang di hiasi motif bunga-bunga biru, dia membawa ransel berwarna hitam dan kamera yang menggantung di lehernya. Dialah kak. Aina, seorang mahasiswi jurusan jurnalistik di salah satu Universitas Islam Negeri di Jakarta. Kak. Aina berlari kecil kearaku, betapa terkejutnya dia ketika menghampiriku dan melihat luka di keningku.
“Zahra keningmu kenapa ?“ Tanya Kak. Aina panik.
“Tadi waktu aku menawarkan payung, seorang bapak menolak lantas mendorong tubuhku hingga aku terjatuh, dan terbentur batu,“ Jawabku sambil meringis kesakitan.
“Astagfirullah. Ayo kita ke puskesmas ya sayang, luka kamu harus segera diobati,” Bujuk Aina, dan dengan segera Aina pun membawa Zahra ke Puskesmas.
Dokter telah selesai mengobati lukaku, keningku yang robek akibat terbentur batu sudah tidak bisa di jahit, karena sudah terlalu lama didiamkan setelah jatuh tadi. Setelah diberi obat, lukaku pun berhenti mengeluarkan darah.
Setelah menebus obat Aina segera mengantar Zahra pulang ke rumahnya untuk istirahat, rumah Zahra terletak tidak begitu jauh dari stasiun, hanya membutuhkan waktu 10 menit jika ditempuh dengan berjalan kaki.
Angin yang berhembus di sore itu terasa begitu dingin, awan hitam kini mulai berubah memerah, tanah yang ku injak masi basah karena hujan yang turun sedari siang tadi, baru beberapa jam lalu berhenti. Adzan maghrib pun berkumandang, terlantun dalam lembayung sore, di iringi alunan musik senandung alam yang begitu menggetarkan jiwa.
Di depan rumah yang berdindingkan anyaman bambu, dengan tambalan koran disana sini, dan topangan bambu, langkah kecil Zahra terhenti.
“Sudah sampai kak, ini rumahku ayo kak masuk“
Aina begitu iba melihat kondisi rumah Zahra, rumah yang mungkin sudah tidak layak huni ini masih ditempati, bersama Ibunya. Kehilangan tulang punggung keluarga, membuat mereka harus hidup seperti ini. Aku sudah lama mengenal Zahra, si gadis cilik penjajak payung yang memiliki sejuta semangat, dia anak yang paling giat bekerja dan penuh semangat yang pernah ku temui. Pernah suatu hari dia bercerita, bahwa ojek payungnya belum laku sama sekali hingga malam hari datang, tetapi dia terus menjajakan payungnya, berharap masih ada orang yang mau menyewa payungnya. Pernah juga dia berkata bahwa dia ingin menjadi wartawan sepertiku. Aku pun mengaamiini harapannya, sejak saat itu aku selalu berdoa untuknya, semoga kelak cita-citanya itu dapat terwujud.
“Kak kok melamun ?,“ Tanya Zahra polos.
“Tidak dik, kakak tidak melamun,“ Zahra membuyarkan lamunanku.
“Kak kita shalatnya berjamaah ya, kata Ibu berjamaah lebih utama dari pada sendiri,“ pintanya, sambil melempar senyum kearahku.
 Zahra larut dalam ke khusuan shalat, gerakan shalat ia begitu rapih, bacaanya pun sangat fasih. Karena sudah sejak ia kecil Ibu dan Almarhum ayahnya selalu menerapkan pendidikan agama di lingkungan keluarga. Aina selalu terkesima saat mendengar gadis kecil ini membaca Al-Quran,  gadis kecil yang sudah hafal juz 30 ini, memiliki suara yang begitu indah. Tak lama berselang setelah shalat berakhir, dan mereka telah selesai tadarus, Ibunya pun tiba di rumah, karena keadaan Zahra telah membaik, Aina pun pamit pulang.
Sebelum tidur tak lupa kembali ku ambil air wudhu, kemudian ku baca beberapa surat dalam Al-Quran untuk menjaga hafalanku, dan tak lupa pula ku baca buku pelajaran yang esok akan di pelajari di sekolah. Aku sangat senang menjelajahi halaman demi halaman buku paket yang diberikan sekolah, sekolah memberikan buku ini secara geratis, karena berturut-turut aku mendapat juara umum.
Di meja belajar tua inilah aku menghabiskan malam untuk belajar, sebelum tiba waktu tidur, walau hanya dengan penerangan seadanya. Malam semakin larut, sebatang lilin yang mulai mencair habis dimakan sang api, menandakanku untuk mensudahi belajar di malam ini. Jam yang tertempel di bilik rumahku, menunjukan pukul 22:00 WIB. Aku pun segera merapihkan buku-buku yang masih berserak di meja, dan mengambil kain yang masih setia menjaga tubuhku dari terpaan dinginya angin malam.
***
            Malam pun  berganti dengan pagi yang bising, suara kereta seakan menjadi alarm bagi penduduk sekitar. Selepas subuh Ibu sudah berangkat ke pasar anyar, untuk menjajakan nasi timbel, makanan khas Sunda itulah yang menjadi mata pencaharian Ibu selama tiga tahun belakangan, setelah Ayah meninggal.
Setelah merapihkan rumah, aku pun bergegas berangkat sekolah. Aku bersekolah di SDN Kerta jaya, sebuah sekolah yang terletak di pinggiran kota Bogor. Di sekolah ini lah tempat ku menggali ilmu. Walau aku tidak memiliki banyak uang, tetapi aku selalu berusaha untuk memiliki banyak ilmu dan prestasi. Beberapa kali aku pernah dikirim sebagai perwakilan sekolah dalam lomba cerdas cermat dan MHQ (musabaqoh hifzil quran) di tingkat kota. Beberapa kali aku berhasil meraih juara pertama, mengalahkan SD SD se-Bogor raya.
“Teeet….”
            Tak terasa waktu sekolah telah usai. Bubunyi bel menandakan tanda waktu pulang sekolah sudah tiba. Aku segera bergegas pulang kerumah.
Selepas berganti pakaian dan shalat zuhur, aku berjalan menuju dapur, namun harus ku urungkan niatku untuk makan, karena diatas meja tidak ku temui makanan apapun, kecuali air putih. Walau aku sangat lapar, karena sejak kemarin sore belum ada sesuap nasi pun yang masuk kedalam perutku, tetapi aku harus dapat menahannya. Untuk menahan rasa lapar, kuteguk beberapa gelas air putih, setidaknya air ini dapat membuatku kenyang. Dengan penuh semangat aku bangkit dari tempat duduk dan segera beranjak menuju ke stasiun.
 “Payung payung, Pak Bu, ojek payungnya ?” Tawarku pada orang-orang yang baru saja turun dari kereta, berharap salah satu dari mereka ada yang menyewa payungku ini.
Baru beberapa jam aku menjajakan payung  dan alhamdulillah, hari ini sudah ada sepuluh orang yang menyewa payungku, aku membayangkan uang di celenganku.
Sudah berapa banyak ya uang yang ada di celenganku ? hmm apa sudah berjuta-juta ya? Kalau sudah banyak pasti nanti cukup buat biaya aku kuliah, nanti aku pakai baju toga kaya pak. Guru, nanti aku akan bergelar sarjana jurnalistik. Asik… nanti aku jadi wartawan terus aku akan meliput banyak berita, masuk TV, terus punya banyak uang, bisa ajak Ibu jalah-jalan deh. Huuaaah semoga uang ini bisa menambahkan lagi jumlah yang ada.
“Zahra”
Suara seorang laki-laki paruh baya itu membuyarkan lamunanku, dia sangat tergesa-gesa datang menghampiriku, dia menarik tanganku seraya mengatakan bahwa Ibuku saat ini sedang berada di Rumah Sakit. Aku sangat terkejut mendengar kabar itu, aku lantas pergi ke Rumah Sakit tempat Ibu dirawat.
Di depan ruang UGD rumah sakit, aku tak bisa berhenti manangis. Ibu koma karena terkena tusukan di bagian perut sebelah kiri, yang hampir menembus lambungnya. Ibu tertusuk pisau seorang pencopet, yang kala itu hendak mencopet ibu paruh baya di pasar tempat Ibu bejualan. Saat itu Ibu hendak menolong Ibu paruh baya itu, dengan berusaha memukul pencopet dengan sebatang kayu, namun naas pencopet mengetahui gerak Ibu, lantas meluncurkan pisaunya ke perut Ibu.
Wajah ibu benar-benar pucat, aku terus melihat elektrokardiografi yang ada di samping ranjang Ibu, sebuah monitor yang berfungsi merekam kerja jantung, aku terus berdoa agar monitor itu tetap berjalan, dan Ibu dapat melewati masa kritis ini. Aku hanya bisa melihat Ibu dari jauh, hanya dari jendela kecil yang ada di pintu ini lah aku dapat melihat Ibu. Pikiranku terus berputar-putar pada kejadian tiga tahun yang lalu. Aku takut kejadian tiga tahun lalu yang terjadi pada almarhum Ayahnya, terulang kembali pada ibunya. Tiba-tiba wajah Ibu lewat dalam lamunku.
Aku masih diliputi rasa bingung, dari manakah aku bisa mendapatkan uang untuk membayar biaya rumah sakit. Aku harus berusaha sekuat tenaga mengumpulkan uang untuk pengobatan Ibu, aku tak ingin sesuatu hal buruk menimpahnya.
Walaupun setiap hari aku harus menjajaki payung dari pagi hinga malam, menggantikan pekerjaan Ibu sebagai pengais beras, mencari uang tambahan dengan bekerja sebagai kuli pembersih WC umum, namun aku tak akan pernah berkata “lelah”, takan pernah ada kata lelah untuk Ibu, karena aku sangat mencintainya, kau lah nafasku, kau lah detak jantungku, dan hanya kau lah yang mampu mengisi hari-hariku.
Berminggu-minggu telah ku kumpulkan uang, namun semua itu tidaklah cukup untuk membayar pengobatan Ibu di rumah sakit. Hanya tersisa pilihan membobok semua tabunganku.
Hatiku sangat bimbang apa ini satu-satunya yang dapat melunasi semua biaya Rumah Sakit Ibu, uang ini telah ku kumpulkan selama 3 tahun, ya Allah apa tidak ada jalan lain? Kalau uang ini aku pakai, pupuslah sudah harapanku menjadi seorang sarjana jurnalistik,
Aku masih dalam kebingungan, kucoba bersujud pada-Nya, berdoa mengharap petunjuk terbaik-Nya. Saat aku menundukan kepala wajah ibu terlintas dalam benakku,
Tidak ada pilihan lain, ya mungkin uang yang telah ku kumpulkan selama tiga tahun ini harus aku keluarkan untuk membayar pembiayaan Rumah sakit ibu. Aku harus ikhlas demi kesembuhan Ibu.
***
Disisi lain, Aina masih terus mencari keberadaan Zahra. Aina yang diam-diam menjadikan Zahra sebagai objek liputannya ingin segera menyampaikan kabar gembira ini pada Zahra, keyakinan Aina terwujut. Kisah inspirasi Zahra berhasil mendapatkan peringkat pertama lomba liputan kisan inspirasi 2012, yang diadakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang jurnalistik, yang bekerjasama dengan salah satu Universitas Negeri di Jakarta.
Aina akan menyerahkan semua hadiah uang tunai kepada Zahra, untuk keperluan sekolah dan membantu biaya hidupnya sehari-hari. Selain hadiah uang tunai tokoh inspiratif pun akan mendapatkan beasiwa pendidikan hingga S1. Hadiah ini akan mengantarkan Zahra menjadi seorang sarjana jurnalistik, sebagaimana cita-citanya..
Di hari ke tujuh pencarian, Aina kembali mencari Zahra, dia menanyakan pada para pedagang dan pengamen yang ada di stasiun, namun tidak ada seorang pun yang tahu. Hingga suatu hari ada seorang bapak paruh baya, yang menuturkan bahwa Ibu Zahra masuk Rumah sakit dan koma.
Aina pun segera mencari Rumah Sakit tempat Ibu Zahra dirawat. Samapailah Aina di depan ruang rawat. Dimana di dalam ruangan ada sesosok gadis kecil dengan mukena putih, yang sedang melantunkan ayat-ayat Al-Quran di samping seorang Ibu, yang sedang terbaring di ranjang Rumah Sakit. Gadis kecil yang benar-benar menginspirasinya. Sifatnya yang penuh semangat, pantang menyerah, keuletannya dalam bekerja, serta ketekunannya dalam Agama.
Aina masih berdiri di pintu ruang rawat kelas tiga itu, tanpa ia sadari air mata mengalir membasahi pipinya yang merah. Aina pun segera menghampiri Zahra lantas memeluknya erat, kemudian dengan penuh rasa syukur Aina menjelaskanlah semua yang terjadi. Tentangnya yang menjadikan Zahra sebagai tokoh inspiratif dalam lomba liputannya, tentang kemenangan liputan yang dia buat, tentang beasiswa yang akan di raih Zahra, serta hadiah uang tunai yang saat ini mungkin akan sangat berguna, untuk membayar biaya Rumah Sakit.
Mendengar semua itu, Ibu Zahra yang sudah sadarkan diri sangat terharu bahagia, senyum mengembang di pipi Ibu yang masih terlihat sangat lemah itu. Zahra masih terpaku dengan penjelasan Aina, air matanya seketika  tumpah. Seluruh pasien dalam ruangan itu ikut terlarut di dalamnya.
Akhirnya perjuangannya menjajakan payung tidak sia-sia, uangnya yang telah dikumpulkan selama tiga tahun, yang telah habis dipakai untuk membayar biaya Rumah Sakit, kini telah tergantikan dengan uang hasil hadiah yang diberikan Aina. Secercah sinar harapan pun semakin jelas nampak, mimpinya untuk menjadi seorang sarjana jurnalistik kini ada di depan mata, diantara hujan dan payungnya.

Selasa, 19 Maret 2013

Apakah Aku Berbeda


Bunda, ayah
Mengapa mereka menatapku seperti itu ?
Tatapan yang begitu tajam
Tercermin dalam  bola mata mereka

Bahkan tak jarang telinga ini panas
Mendengar suara itu berdering
Tak hentihentinya
Membuat dada ini terasa begitu sesak

Sakit sekali Bund
Rasanya hatiku bagai dicabikcabik
Tapi aku hanya bias diam
Dan tersenyum

Ingin rasanya aku bertanya pada Tuhan
Tuhan mengapa aku terlahir  berbeda ?
Mengapa aku tidak seperti mereka ?

Mereka dapat melihat
Mendengar
Berlari kesana kemari

Tapi aku ?

Apakah memang benar aku berbeda ?
Ah sudahlah…
Ku kubur saja dalamdalam  pertanyaan ini

Mungkin benar yang dikatakan Bunda padaku
Bahwa aku berbeda karena aku spesial

Tuhan…
Mungkin ini anugerah terindah
Yang Engkau berikan secara berbeda

Ya…
Dengan adanya aku.

Karya : Ayaka Hamasah

Suara Hati Anak Palestina




Umi, abi
Sebelum ku tulis suara hati ini
Ada satu hal yang ingin kutanyakan

Umi, abi
Sampai kapankah
Hujan peluru ini akan berakhir ?

Bersama gelegar bom
Aku dilahirkan
Bersama desingan peluru
Aku dibesarkan

Di negeri kiblat pertama, di tanah mulia
Tanah para syuhada
Palestina...

Rindu rasanya bermain bersama kawan
Rindu rasanya pergi sekolah, bercengkrama
Bersama umi dan abi
Tanpa adanya ancaman

Tanah Aqso
Tanah mulia


Wahai yahudi laknatullah !
Kau porak porandakan negeriku
Kau rampas negeriku
Kau telanjangi kaum-kaum hawa
Dan kau bunuh manusia-manusia tak berdosa

Saksikanlah !
Wahai bala tentara Israel
Wahai yahudi laknatullah

Aku bersumpah
Di atas tanah mulia ini
Akan ku pertahankan tanah mulia ini
Hingga tetes darah terakhirku


Karya : Ayaka Hamasah